Waspada Sobat, Kamu Mungkin Tidak Bisa Hidup Sampai 5 Tahun Kedepan.
- Bimanda Dharma Sahara
- Jan 24, 2019
- 3 min read
Updated: Mar 12, 2021
Artikel ini dipresentasikan pada acara Speakup TedXITB.
Jika kamu pernah berpikir, bagaimana semua keributan atau kekacauan yang ada di dunia ini bisa terjadi mungkin bisa jadi itu adalah sisa-sisa peradaban modern yang masih tersisa di era post-modern ini. Jika telingamu tidak akrab dengan kata peradaban modern, mungkin kamu akan lebih suka menyebutnya dengan istilah budaya barat.
Meskipun istilah modernisme sendiri baru dipopulerkan pada abad 20 awal oleh seorang kritikus seni rupa Amerika Serikat berdarah Yahudi bernama Clement Greenberg. Namun untuk menjawabnya kita perlu mundur sekitar 200 tahun kebelakang yaitu disaat revolusi industri inggris muncul dan mempengaruhi seluruh peradaban manusia. Pada masa itu terjadi perubahan secara massal dimana seluruh pekerjaan yang awalnya dapat dikerjakan oleh manusia, berubah menjadi mesin. Rumah adalah mesin tempat tinggal, mobil adalah mesin untuk berpindah tempat, begitu seterusnya. Mesinisasi.
Konsep Modernisme ini lalu dianggap oleh banyak pihak akan dapat membawa perubahan peradaban manusia menuju ke hal yang lebih baik, meskipun pada kenyataannya zaman ini hanya berlangsung selama kurang lebih 150 tahun, kehancuran zaman ini ditandai dengan runtuhnya pilar-pilar yang menopangnya. Kerusakan alam, ketimpangan sosial, hingga pada akhirnya zaman ini benar-benar dianggap gagal saat perang dunia meletus sebanyak 2 kali dalam waktu yang tak cukup lama yaitu 1914 dan 1939.

Setelah hampir seabad keruntuhannya, modernisme nyatanya belum sepenuhnya hilang dari tatanan masyarakat kita. Bibit-bibitnya masih tertanam dan bahkan siap untuk ‘tumbuh’ kembali. Konsep ‘otonomi keindahan’ yang dibawa oleh Kant telah berkembang sedemikian rupa hingga akhirnya memunculkan sekat-sekat di antara masyarakat. Kondisi ini tentunya disebabkan oleh tekanan untuk mengadopsi budaya barat yang membuat fungsi sosial semakin beraneka ragam akibat tingkat persaingan yang tinggi. Dapat kita simpulkan bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman di sebuah tatanan masyarakat maka semakin banyak .
Pola seperti ini sering terjadi di kehidupan sehari-hari, ketika terdapat sebuah perusahaan yang sudah sangat mapan. Pasti mereka membutuhkan banyak sekali anggota dengan bermacam-macam keahlian dari mengurus keuangan hingga membersihkan lantai. Tentu akan sangat berbeda jika kita menilik ke sebuah toko kelontong sebuah gang kecil dimana 2 kegiatan tadi bisa saja dilakukan oleh 1 orang saja.
Kembali ke pembahasan awal, sekat-sekat ini sering kita dengar dalam berbagai macam istilah. Sebagian kita menganggapnya sebagai kelompok keilmuan, mazhab, aliran atau zona nyaman. Meskipun pada awalnya kita memiliki keinginan untuk berusaha melampaui sekat ini, namun karena sistem dan kemalasan yang tidak berkesudahan. Kita justru cenderung untuk masuk lebih dalam.
Tidak ada yang salah dalam hal tersebut, semua orang berhak untuk menentukan pilihannya namun masalah mulai muncul pemikiran bahwa kita dan kelompok kitalah yang paling benar dan kita menolak bahwa ada pemikiran lain yang berada diluar kita.
Sudah banyak kok contoh kasusnya, agama? Pandangan politik? Orientasi seksual? Persamaan gender? kalau kurang bisa anda cari sendiri di media cetak atau daring.
Lalu bagaimana cara kita (atau anak kita kelak) menyelamatkan diri dari segala masalah ini? Apakah kita akan berhenti sampai disini? Izinkan saya untuk memberi solusi seperti pegadaian.
Cara yang ampuh yang bisa kita lakukan salah satunya adalah bunuh diri membuat sebuah perjalanan, ya bagi saya ini cara yang mudah tapi kadang tidak murah untuk bisa melompati sekat-sekat yang terlanjur sudah saya masuki tadi.
Selayaknya seperti seorang bayi yang masih awam segala hal, saya selalu menemukan hal baru disetiap perjalanan yang saya buat. Di titik ini saya sangat beruntung karena dilahirkan di Indonesia karena disetiap jengkalnya kita sudah bisa menemukan hal yang sangat berbeda dari apa yang sudah ketahui. Kuncinya hanya satu, berangkatlah dengan kepala kosong yang siap diisi oleh apapun. Semakin kosong maka semakin banyak yang akan kamu temui.
Dengan melakukan perjalanan kita semakin tahu apa yang terjadi, semakin kita berkenalan dengan budaya orang lain, dan akhirnya mengerti bagaimana menyikapi sebuah perbedaan.
Terinspirasi dari tulisan "Nostalgia Masa Depan Manusia" oleh Roby Muhammad.
Comments