top of page

Mereka Sudah Memilih, Bagaimana Kita?

  • Writer: Bimanda Dharma Sahara
    Bimanda Dharma Sahara
  • Aug 28, 2019
  • 4 min read

Updated: Mar 9, 2021


Sebuah narasi besar yang tak kunjung selesai itu datangnya dari sebuah daerah paling ujung sebelah timur Indonesia, Papua. Tahun 1969, waktu yang sangat membekas bagi kebanyakan warga Papua di mana terjadi sebuah peristiwa besar yaitu pemerintahan Pemerintah pada waktu itu berdalih bahwa semua bekas jajahan Hindia Belanda harus kembali ke Indonesia, tak terkecuali Papua. Namun sayangnya, proses pengambilalihan Papua ini juga dirasa memiliki banyak permasalahan, misal selama lebih dari enam minggu dari bulan Juli hingga Agustus 1969, United Nations melakukan apa yang disebut Act of Free Choice atau sering disebut dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).


Menurut pasal-pasal Perjanjian New York (Pasal 18), semua orang Papua dewasa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri yang akan dilakukan sesuai dengan praktik internasional. Peraturan ini seharusnya berlaku sistem one man one vote, namun hal itu hanyalah khayalan utopis bagi mereka karena pemerintah hanya memberi hak suara kepada 1025 dari 800.000 orang dewasa yang ada di Papua.


Pemerintah Indonesia menganggap rakyat Papua masih terbelakang dan belum siap untuk referendum. Jangankan untuk memilih, hanya karena berpendapat untuk tidak setuju bergabung dengan Indonesia pun, mereka akan segera ditangkap oleh militer dan dipenjara. Akhirnya dengan seluruh keburukan dalam prosesnya, melalui Pepera, Papua resmi menjadi bagian NKRI. Dan di kemudian hari, tidak banyak orang yang mempertanyakan atas hasil Pepera tersebut.


Pepera adalah satu dari sekian banyak peristiwa kelam yang harus diterima oleh rakyat Papua, bahkan hingga sehari sebelum dirgahayu kemerdekaan Indonesia yang ke- 74, tepatnya 16 Agustus 2019. Rakyat Papua kembali mendapatkan perilaku diskriminatif dari sekelompok warga dan aparatur negara.


Beberapa kota besar seperti Malang, Surabaya dan Makassar menjadi saksi bisu konflik antara rakyat Papua dengan ormas, polisi dan tentara. Penyebabnya pun tidak pasti, awalnya mereka berdalih melakukan penyerangan tersebut karena terdapat pengrusakan bendera merah putih oleh beberapa rakyat Papua. Namun sampai tulisan ini dibuat pun, tidak ada yang bisa membuktikan hal tersebut. peristiwa ini akhirnya membangkitkan kemarahan rakyat Papua, aksi protes terjadi di tanah Papua sendiri. Cara damai yang coba dilakukan oleh pemerintahan Indonesia juga tidak menunjukkan angin segar bagi perdamaian atas konflik ini. alih-alih membuka ruang diskusi, pemerintah semakin menambah jumlah personel militer ke daerah Papua.


Selain itu, media yang harusnya dapat menjadi penengah dalam konflik ini malah membuat keadaan menjadi lebih keruh. Alih-alih untuk menggunakan jurnalisme damai, mereka justru memilih untuk mengeksploitasi peristiwa ini dengan cara membuat berita sampah yang membuat kedua pihak menjadi semakin ter polarisasi.


Serangkaian konflik ini menambah keyakinan rakyat Papua bahwa pada dasarnya Papua bukanlah Indonesia, dan Indonesia dianggap gagal menjadi Ibu bagi sebagian besar rakyat Papua.

Selama beberapa dekade terakhir, tanah cenderawasih ini tidak bisa beranjak dari berita dan stigma negatif. Kabar yang datang dari Papua hampir seluruhnya bernadakan negatif (Pelanggaran HAM, konflik horizontal, tuduhan makar).


Sebelum saya melanjutkan tulisan yang mungkin dianggap oleh beberapa orang merupakan usaha makar ini, mungkin saya perlu mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pemerintah yang sudah mau bersusah payah untuk melakukan pembangunan infrastruktur di daerah dengan tingkat pembangunan paling kecil dari seluruh wilayah NKRI. Pembangunan ini setidaknya perlu kita apresiasi walaupun banyak sekali kritik atas pembangunan yang dilakukan.


Dengan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM di tanah Papua membuat saya bertanya-tanya, siapa yang diuntungkan dengan adanya pembangunan ini? rakyat Papua? Aparatur negara? Atau mungkin investor? Serangkaian konflik yang terjadi di Papua dan wilayah lain yang dialami orang Papua membuat saya merenung dan berpikir mungkin segala bentuk percepatan pembangunan di Papua bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melainkan hanya untuk memudahkan akses para aparatur negara untuk mengamankan rakyat Papua. Selain itu pembangunan akan dicurigai sebagai cara negara untuk mempermudah investor yang ingin mengeruk seluruh sumber daya alam milik Papua.


Peristiwa yang terjadi di Surabaya menjadi contoh dekat bahwa sebenarnya konsep bhineka tunggal ika yang selalu diajarkan oleh orang tua kita dan mungkin akan kita ajarkan kepada anak dan cucu kita bisa jadi hanya menjadi isapan jempol belaka. Sebagai sebuah produk nasionalisme politik, slogan ini menjadi efektif di saat kita memiliki musuh bersama (kolonialisme). Namun saat kita tidak memiliki musuh bersama, konsep kesatuan dalam keberagaman ini menjadi rapuh dan kita kembali terkotak-kotakkan oleh suku, agama dan ras.


Bagi saya, kepedulian kita atas Papua sering kali hanya bersifat formal dan mengikuti tren saja. Banyak orang yang memakai tagar #savePapua #Papuaadalahkita dan melabeli dirinya peduli dengan rakyat Papua namun dalam dirinya masih menyimpan rasa jijik ketika diperlihatkan orang Papua memakai koteka. Rakyat Indonesia saat ini kebanyakan hanyalah sekumpulan manusia yang memimpikan hal yang utopis. Mereka yakin bahwa nasionalisme dapat tumbuh di Papua dengan cara mencederai kemanusiaan di kehidupan keseharian mereka dan mencuri seluruh kekayaannya. Jika itu bukan hal yang konyol dan bodoh, apalagi?


Rasa simpati kita terhadap Papua sering kali berlandaskan dengan semangat penjajah di mana kita selalu memosisikan diri sebagai manusia yang lebih beradab dibanding rakyat Papua. Pada banyak kali kesempatan saya menanyakan kenapa kita selalu gigih untuk mempertahankan Papua, jawaban yang selalu saya terima selalu seputar tentang rakyat Papua yang dianggap tidak dapat mandiri dan ketakutan akan keberlangsungan sumber daya alam yang mereka miliki. Jika benar demikian, apa bedanya kita dengan pencuri itu? Bukankah lebih baik mereka memutuskan nasib mereka sendiri?


Usaha-usaha yang dilakukan untuk bersatu sepertinya membutuhkan formulasi baru agar kita dapat hidup berdampingan di tengah banyaknya konflik horizontal. Ketika Papua menjadi daerah yang terakhir tergabung dalam wilayah NKRI, mereka tidak memiliki kesempatan untuk menempatkan dirinya dalam urutan waktu sejarah Indonesia. Sehingga, apa pun yang terjadi di Papua, sering kali dianggap tidak signifikan dan cenderung disepelekan. Hal ini yang membuat kita merasa masalah yang terjadi di Papua perlu diteriakkan kencang dan sejelas-jelasnya. Semoga kita dapat mengerti bahwa mempertahankan sebuah wilayah bukan hanya perihal sumber daya alam tapi juga soal manusia yang ada di dalamnya.











Comments


  • Instagram
  • LinkedIn
  • 77-behance-512
bottom of page