top of page

Tiga Puluh Lima Purnama

  • Writer: Bimanda Dharma Sahara
    Bimanda Dharma Sahara
  • Mar 12, 2021
  • 5 min read


Sambil membuka pintu toilet tua yang berkarat, aku memandangi bekas-bekas kakus yang belum disiram. Jika diperhatikan mungkin tahi-tahi itu sudah berumur beberapa minggu, bau amoniak yang dipancarkan sudah tidak begitu terasa mengganggu hidungku. Setelah pintu aku tutup dan kunci dari dalam, aku membuka celana dan mengeluarkan batang kemaluanku. Ku pandanginya dengan seksama.

“Ternyata dirimu cukup menawan, meski tidak terlalu besar. Badanmu begitu tegap. Topi bundar berwarna merah jambu itu semakin membuatmu gagah.”.

Setelah menumpahkan semuanya kedalam lubang kakus itu, segera kumasukkan burungku kembali ke dalam sangkarnya. Di luar, aku melihat seorang bocah yang sedang berdiam seorang diri. Dialah Si Buta, bocah laki-laki berumur 10 tahun yang aku temui sekitar 6 bulan lalu ketika aku masih berada di kamp pengungsian sebelum tempat itu dihancurkan oleh pemberontak.

Kisah pertemuan kami tidak ada yang spesial. Kami berkenalan di dapur umum kamp pengungsian ketika jam makan siang. Saat itu aku duduk bersebelahan dengan Si Buta. Sambil menyantap hidangan nasi, sayur kangkung, dan tempe aku berkenalan dengan Si Buta, seorang yang ramah tapi tidak terlalu banyak bicara. Dari kejadian itu akhirnya kami menjadi berteman, bagiku kami berdua adalah sepasang teman yang saling melengkapi. Aku bukan seorang anak yang suka berteman dengan banyak orang, dan banyak orang tidak ada yang mau berteman dengan Si Buta. Sempurna.

Tempat tinggal kami sedang dilanda oleh sebuah konflik berkepanjangan, jika aku tidak salah hitung. Kami sudah melewati peperangan ini bersama 35 purnama. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan ambisi orang-orang tamak yang ingin menguasai sumber daya alam yang ada di daerah ini. Meskipun bukan pusat perekonomian seperti kota-kota besar lainnya, dulu kami hidup serba berkecukupan. Masyarakat sini juga peka terhadap keadaan sekitar sehingga jarang sekali aku dengar ada warga yang mati karena tidak bisa makan. Ada sebuah dongeng yang beredar di masyarakat, semua anak sekolah dasar pun tahu tentang cerita ini karena guru-guru mereka selalu menyelipkan dongeng ini di hampir setiap kesempatan. Kata mereka, kota ini memiliki sebuah gunung yang di dalamnya banyak tersimpan mineral-mineral langka dan jika dijual akan sangat mahal. Tak heran jika kota kami terkenal dengan sebutan tanah mulia dari utara.

Sampai aku bercerita tentang kisah ini, menurut kabar yang beredar, keadaan sudah cukup terkendali. Beberapa pos penting sudah bisa dikuasai kembali oleh para tentara nasional, meskipun harus mengorbankan banyak nyawa, jumlah kematian pemberontak jauh lebih banyak. Mau bagaimanapun juga, perang tetaplah perang. Kematian kemarin, hari ini, besok, atau kapanpun akan sama saja. Sama-sama sebatas angka laporan yang akan dibaca oleh para komandan di kedua belah pihak.

Empat hari terakhir ini adalah hari paling sial bagi kami berdua, tidak ada makanan sedikitpun yang bisa kami temukan di sepanjang perjalanan. Padahal pada hari-hari biasa, setidaknya kami bisa makan makanan sisa kaleng ransum tentara nasional atau minum dari kubangan air yang muncul karena saluran irigasi kota telah rusak dan bocor sehingga tumpah ke jalan-jalan. Hari ini adalah hari penentuan hidup kami berdua, rasa lapar dan dahaga sepertinya sudah tidak bisa ditoleransi lagi oleh perut dan tenggorokan kami. Jadi apapun yang terjadi, hari ini kami harus makan! Meskipun itu artinya kami harus makan bangkai hewan dan manusia yang berserakan di trotoar dan gorong-gorong.

Setelah berjalan seharian, kami tiba di sebuah desa yang telah hancur lebur. Di sana kami hanya menemukan rumah-rumah yang hangus terbakar. Meskipun demikian, kami menemukan sebuah bangunan mirip toko kelontong yang masih kokoh berdiri. Bangunan itu separuhnya telah terbakar, kursi, rak, meja, dan papan telah menjadi arang. Kemungkinan besar bangunan ini dan sekitarnya dibakar oleh pemberontak yang ingin menghilangkan jejak atau tentara nasional yang tidak mau daerah ini menjadi markas pemberontak, toh tidak ada bedanya. Sekitar 3-4 blok dari tempat mereka beristirahat, suara-suara mesin perang masih berbunyi sahut menyahut. Timah bertemu timah, erangan dibalas teriakan. Tampaknya kedua belah pihak masih belum ada yang ingin menyerah.

Dengan sigap kami mulai melakukan aksi yang dilakukan oleh orang putus asa ketika krisis melanda, menjarah. Semua barang yang kami lihat tidak berguna kami buang, siapa tau di dalamnya kami menemukan makanan. Syukur-syukur jika pemilik tempat ini menyimpan sebuah ruangan rahasia yang menyimpan semua cadangan logistik toko mereka. Setelah 2 jam berlalu, kami mulai menelan ludah kekecewaan. Dari apa yang didapat, sepertinya tempat ini benar-benar kosong, kami hanya menemukan sepotong roti tawar setengah basi dan sekaleng bir.

“Bajingan, tidak ada yang tersisa di sini. Kota ini benar-benar sudah hancur!”

Dari bangunan ini, hari tampaknya berlalu lebih cepat. Cahaya kuning yang jatuh dan menimpa mukaku perlahan berubah menjadi oranye, bayangan-bayangan gelap gedung bertingkat yang ada di sekitar sini juga mulai menampakkan diri. Dengan perasaan yang cukup kecewa, kami berusaha merayakan hari ini, kami pun saling berbagi makanan dan minuman yang sebenarnya tidak cukup memuaskan bagi cacing di dalam perut kami yang sudah meraung-raung. Dan ya, tentu saja kami meminum bir itu! Jangan kalian bawa-bawa ayat-ayat tuhan disini, kami tidak akan mendengarkan hal-hal semacam itu. Terlebih lagi, tidak akan ada polisi yang repot-repot menangkap dua bocah berumur 10 dan 14 tahun hanya karena minum bir kalengan. Bahkan aku ragu, memangnya masih ada polisi di tengah kekacauan seperti ini?

Sambil meneguk bir secara bergantian, kami berbincang cukup banyak di hari itu. Obrolan dimulai olehku, aku bercerita kepada Si Buta tentang pengalaman ayahku yang dulu sempat menjadi buruh di negeri seberang. Tidak seperti negara kita, katanya di sana punya lebih banyak musim. Salah satunya yang paling membuatnya berdecak kagum ada sebuah musim di mana awan tidak menurunkan air hujan namun bola-bola es kecil berwarna putih. Mereka menyebutnya salju. Apapun yang terkena olehnya akan berubah menjadi putih dan dingin. Pepohonan tidak menumbuhkan daun, sebagai gantinya, ranting dan dahan akan menjadi wadah bagi salju-salju itu untuk bertengger sebelum mereka mencair di musim selanjutnya. Kata ayahku, pohon-pohon itu akan nampak rapuh dan akan tumbang. Tapi tidak, tidak akan demikian. Pohon-pohon itu telah menancap begitu dalam di dasar permukaan tanah.

Lalu, obrolan disambung oleh Si Buta yang bercerita tentang pengalaman saat pertama kalinya ia sadar menjadi seorang tunanetra. Ia mengira bahwa semua orang memang terlahir seperti ini. Sampai suatu masa, ketika berusia 7 tahun, saat ia merasa aneh mengapa beberapa kali ia terbentur oleh sesuatu yang tidak bisa ia dengar suaranya atau cium baunya. Dari sana ibunya bercerita bahwa Si Buta memiliki kelainan yaitu buta alias tidak bisa melihat. Katanya, menjadi buta sejujurnya cukup merepotkan. Apapun yang dilakukan olehnya akan menimbulkan keibaan bagi orang lain, dan itu lumayan membuatnya jengkel. Ia ingin diperlakukan selayaknya orang normal, jika salah dimarahi. Bukannya dikasihani.

“Kalau semua ini berakhir, kamu mau ngapain?”

Suasana menjadi hening kembali, tak sepatah katapun keluar dari mulut Si Buta. Kemudian, perlahan aku menengok ke arah Si Buta, semakin aku memandangnya, semakin terasa juga kesedihan yang terpancar dari mukanya yang putih dan bersih. Akupun larut dalam wajahnya yang suci dan tampak menyerah. Tak lama berselang, ketika aku menengadah ke utara, cahaya matahari mulai meredupkan cahayanya yang semula menyilau tenang. Sejumlah burung gereja mengepakkan sayapnya yang kecil di lengkung langit. Terbang di antara takut dan maut. Perlahan cahaya bulan mulai nampak dari balik awan hitam, sambil menghela nafas aku berbisik ke Si Buta.


“Purnama ke tiga puluh enam”


Comments


  • Instagram
  • LinkedIn
  • 77-behance-512
bottom of page