Kisah Dalam Mimpi
- Bimanda Dharma Sahara
- Jan 19, 2021
- 8 min read
Updated: Mar 9, 2021

Di ujung negeri sana, tempat bunga dan daun tanggal dari ranting, jatuh menuju tempat peristirahatan selanjutnya. Entah itu diam di atas kolam hingga membusuk dan berwarna kehitaman atau mengikuti aliran selokan yang mengalir lumayan deras ketika tapak-tapak hujan kembali mengepung rumah. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, Yudhistira terus menatap lurus ke garis cakrawala yang semakin gelap karena sinar matahari perlahan mulai bersembunyi di balik punggung pegunungan. Yudhistira mulai memanjatkan puji-pujian kepada Sang Hyang yang ia ucap terus-menerus agar dapat bertemu kembali dengan Drupadinya.
“Dibalik hutan yang selalu melindungi pegunungan itu, aku ingin terlelap dalam dekapmu. Hangat, tapi bukan sebagai seorang kekasih. Melainkan seperti anak dan ibu, yang selalu dinyanyikan kidung hingga tertidur”
***
Seperti malam selasa kliwon yang lalu-lalu, setiap perempuan desa yang masih melajang mengikuti sebuah ritual agar segera dipertemukan dengan jodohnya. Begitu juga dengan seorang gadis, sebut saja dia sebagai wanita yang sepertinya dirimu, berada di tengah-tengah rombongan yang menaiki truk dengan kap terbuka.
Mereka semua, kecuali wanita yang sepertinya dirimu, berbincang mengenai kriteria jodohnya yang siap mereka ucapkan sambil melarungkan sesaji masing-masing di sungai keramat menurut kepercayaan penduduk desa sekitar. Ia terlihat kebingungan, bagaimana gadis-gadis ini bisa mempercayai hal seperti itu di zaman serba modern seperti saat ini pikirnya. Namun, karena tidak ingin melukai hati para gadis-gadis dan menjadi musuh seantero desa, wanita yang sepertinya dirimu itu memutuskan diam dengan 1000 macam pertanyaan yang disimpan dan ditutup rapat-rapat di salah satu sudut lemari otak.
Wanita yang sepertinya dirimu memang baru datang lagi setelah 3 tahun tidak pulang kampung karena harus belajar arsitektur di salah satu universitas ternama di negeri seberang. Baru kali ini ia sempat pulang kampung karena tiket untuk mudik ternyata jauh lebih mahal daripada yang ia kira. Tradisi ritual ini membuatnya merasa terganggu, sudah terlalu sering ia mendengar seminar dan membaca jurnal ilmiah dan hampir dipastikan hal tersebut tidak bisa ditelaah secara empiris, bahkan wanita yang sepertinya dirimu berharap tradisi semacam itu sudah tidak ada seperti halnya tradisi-tradisi yang telah punah karena pemuda-pemudinya lebih suka memainkan gawainya.
Kalau boleh jujur, sebenarnya awal mula ia bisa terjebak di kerumunan ini karena merasa tidak enak hati dengan ibunya yang hampir setiap malam menangis sambil bertanya apakah wanita yang sepertinya dirimu ini memang ingin menjadi perawan tua dan memutus garis keturunan keluarga selama-lamanya, ia menjawab ia akan kawin jika sudah waktunya, namun bukan cara seperti ini. jawabannya itu membuat ibunya menangis sejadi-jadinya, dari situlah ia merasa telah menjadi anak yang kurang ajar dan dengan agak terpaksa mengikuti apa yang diinginkan oleh ibunya. Mendengar hal itu ia sangat riang gembira seperti anjing yang baru bertemu dengan tuannya setelah bertahun-tahun lamanya berpisah. Dengan sigap, ibunya mempersiapkan berbagai macam sesajen seperti 2 butir telur ayam kampung, sepotong bebek, dan hasil bumi lainnya untuk dibawa oleh anaknya di malam upacara ritual nanti.
Di pinggir sungai, tepat sesudah berdoa dengan khusyuk dan melarung sesaji di atas perahu yang perlahan menghilang di balik kabut, ia terkejut karena melihat di sekelilingnya mendadak menjadi sunyi dan sudah tidak ada manusia satu pun yang berada di bantaran sungai tersebut. Tak lama kemudian wanita yang sepertinya dirimu mendengar suara sayup-sayup dari ujung ruangan, tidak jelas suara apa itu tapi sepertinya ada orang (atau setidaknya makhluk) yang mencoba untuk memanggilnya. Belum sempat berpikir panjang, badannya membawanya lari menuju sumber suara sembari berharap menemukan jawaban atas apa yang sedang terjadi. Setelah berlari cukup jauh, wanita yang sepertinya dirimu mulai tertatih. Langkahnya yang awalnya cepat dan panjang, menjadi perlahan dan pendek. Karena tubuhnya sudah terasa berat dan mulai tidak sanggup untuk berjalan lagi, ia memutuskan untuk duduk sambil memejamkan mata. Dan kalian pasti tau bagaimana kelanjutannya. Ya, dia tertidur.
Tak lama, seseorang mengguncang tubuhnya.
Bangun, kamu mau tidur berapa lama lagi?
Wanita yang sepertinya dirimu terbangun dengan sedikit tersentak, saat melihat ke sekeliling, ia sadar bahwa ia berada di sebuah gerbong kafetaria. Di saat yang bersamaan, ia langsung menatap orang yang baru saja membangunkannya dengan tatapan tajam. Laki-laki ini – yang selanjutnya kita anggap sebagai laki-laki yang sepertinya diriku – juga membalasnya dengan tatapan tajam, tapi itu tidak berlangsung lama karena laki-laki itu tidak bisa menahan tawanya.
“Kenapa kamu tertawa?”
Kamu benar-benar mirip.
“Dengan apa? Dengan siapa?”
Dengan orang yang ada di naskah.
“Kamu sutradara?”
Hmn, hampir benar, sebenarnya aku sudah berhenti menjadi sutradara. Saat ini aku menjadi seorang cenayang.
“Orang yang meramal masa depan? Mana ada orang yang seperti itu”
Benar kan, negeri barat itu sudah mendoktrin otakmu dengan hal yang-yang bisa ditangkap nalar. Isinya hanya tentang rasionalitas yang membosankan.
“Oke, kalau begitu. Jika kamu benar-benar dapat meramal seperti yang dikatakan mulut besarmu itu, kira-kira akan berakhir seperti apakah ceritaku ini?
Bukan seperti caranya, kamu tidak bisa senantiasa bertanya kepada langit dan mendapatkan jawabannya begitu saja. Untuk pertanyaanmu barusan, aku tidak bisa menjawabnya.
“Halah, bilang aja nggak mampu buat meramal”
Bisa jadi, kamu lebih mengerti.
Aku membayangkan kita akan bertemu dalam sebuah kafe yang terdapat di sebuah sudut kota, menurut orang-orang yang kita kenal, kafe ini sangat terkenal karena minuman olahan daun tehnya. Aku duduk di pinggir jendela yang tampak berembun karena beberapa waktu yang lalu, kota ini diguyur hujan yang cukup deras untuk membasahi jaket yang kamu berikan sebagai hadiah ketika aku memasuki umur 22 tahun. Tanpa membuka menu, aku memesan menu langgananku. Penjaga kafe itu juga sepertinya sudah mengerti dengan maksud isyaratku dengan menganggukkan kepala, dari tempatku duduk. Aku melihat dirimu berkunjung ke kafe ini untuk pertama kalinya, seperti halnya pengunjung kafe yang baru. Kamu cukup kebingungan untuk memilih tempat duduk, setelah melewati beberapa meja yang bising dan pelayan yang membawa pesanan orang lain. Kamu akhirnya duduk di meja di sebelah barat yang lokasinya agak memojok, seperti kebiasaanmu yang lalu, kamu tidak terlalu suka berada di tengah karena cukup riuh.
Dalam bayanganku, sesaat setelah meninggalkan kereta ini. Kamu bergegas menuju rumah. Sesampainya disana kamu langsung menuju kamar mandi, dilihatnya telanjang bulat tubuhmu di depan cermin. Pada waktu itu, baru pertama kalinya kamu berfikir bagaimana jika bayangan yang kamu lihat ternyata bukan benar-benar dirimu? Bisa jadi dia adalah orang lain yang menyamar sebagai dirimu, lalu ketika kamu berpaling dari cermin ini dia akan kembali menjadi dirinya lagi. Aku bertanya-tanya, jika memang benar itu yang terjadi. Siapa dia? Kenapa dia ingin menjadi dirimu?
Sesudahnya, kamu menaiki motor pemberian ayahmu ketika kamu masih mengenyam pendidikan sebagai siswi SMA. Meskipun awalnya kamu tolak, tapi ayahmu tetap memaksamu untuk menerimanya. Jalanan sudah cukup tidak aman jika kamu menaiki transportasi umum, katanya. Padahal kamu sendiri sudah mengenal jalanan rumah ke sekolah lebih dari kamu mengenal dirimu sendiri. Butuh waktu sedikit lama untuk menghidupkan mesin motor itu karena jarang dipakai dan memang sudah tua umurnya. Dengan motor itu, kamu menyusuri jalan-jalan arteri yang sering kamu lewati ketika kamu masih kecil. Melalui perjalanan ini kamu kembali teringat ketika kamu memutuskan untuk pergi dalam waktu yang cukup lama, katamu kepergian ini untuk mencari sebuah kedamaian hati. Jadi kamu meminta semua orang termasuk diriku untuk tidak mencarimu, dan kami semua mengiyakan permintaanmu itu.
Dalam perjalanan itu, kamu pergi sangat jauh, lebih jauh dari jangkauan bayanganku atau akhir dari cerita ini. Disana kamu menemukan dirimu lagi dalam suasana yang kata orang-orang, lebih dewasa. Tidak ada lagi keraguan dalam dirimu yang selalu kau risaukan, bahkan membuatmu takut. Dan jika memang bayanganku ini kau taati, maka aku juga akan menjadi tenang. Aku akan menunggumu dengan sabar.
Lalu, dalam bayanganku yang lain, kamu telah beranjak menjadi wanita dewasa Bahagia yang selalu diidam-idamkan oleh hampir semua orang tua. Kamu cukup keras kepala sebagai seorang wanita, pernah dalam satu waktu kedua orang tuamu berkata bahwa sebagai anak perempuan yang lahir dari keluarga yang biasa saja sebaiknya dirimu menikah saja dengan laki-laki yang ekonominya lebih tinggi daripada keluargamu. Memang benar, kamu tumbuh menjadi gadis yang berparas cantik. Mungkin jika kamu lebih beruntung, kamu bisa menjadi bintang iklan atau film. Namun hal tersebut justru membuatmu sangat marah karena tidak selayaknya perempuan menikah hanya untuk sekedar memperbaiki ekonominya. Mulai dari sana, kamu sangat giat belajar dan ikut berbagai hal aktivitas di luar akademik untuk mendapatkan rekognisi dari teman sejawat atau beberapa orang penting yang kamu temui. Sepulang dari sekolah kamu jarang bermain, kamu lebih suka langsung pulang bersama sopir langgananmu dan kamu menghabiskan waktu dengan membaca buku di rumah. Usahamu berbuah manis, ketika kamu baru dinyatakan lulus dari perguruan tinggi, banyak tawaran pekerjaan yang menghampirimu. Namun kamu tidak bergeming, meskipun banyak temanmu yang berkata dirimu sombong karena menolak tawaran-tawaran tersebut. Kamu tetap melanjutkan studimu di salah satu universitas bergengsi di luar negeri.
Barulah dari sana, kamu mencoba untuk mencari pekerjaan karena kamu sadar bahwa perutmu dan ibumu tidak bisa diberi makan hanya dengan gelar dan kertas ijazah. Benar saja, dengan gelar studi di luar negeri itu, kamu diterima di salah satu perusahaan swasta multinasional yang ada di ibukota dengan gaji yang lumayan besar. Setiap hari kamu harus berangkat pada pukul 6 pagi dan pulang pada pukul 7 malam, bahkan terkadang dirimu harus menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai. Di perusahaan ini juga, kamu bertemu dengan laki-laki yang kelak akan menjadi suamimu. Ia adalah seorang laki-laki biasa yang berasal dari keluarga yang cukup mampu, cerita hidupnya pun tidak sehebat dirimu. Kalian setidaknya berhubungan selama 1 tahun lamanya sebelum dia memutuskan untuk melamarmu untuk menikahinya, dan kamu mengiyakan niatnya.
Kalian berdua menikah di dalam sebuah masjid, setelah itu kalian mengadakan resepsi terbatas untuk kerabat dan teman dekat. Untuk sebuah upacara pernikahan, itu adalah upacara yang sangat sederhana, namun khidmat. Di 2 tahun pertama pernikahan, kamu dan laki-laki itu mengontrak di sebuah rumah sederhana sembari menabung untuk membangun rumah. Dengan status keluarga suamimu sebenarnya kalian bisa langsung membeli rumah (setidaknya dengan kredit KPR), namun kalian berdua sepakat menolak tawaran tersebut karena ingin belajar mandiri. Setelah uang terkumpul, kamu dan suamimu memutuskan untuk membeli rumah pertama di pinggir kota. Ya wajar, karena tanah di tengah kota sudah habis dibeli orang-orang kaya sehingga harganya menjadi tidak masuk akal. Di dalam rumah itu, kamu akan melahirkan 2 anak. Laki-laki dan perempuan, keduanya tumbuh menjadi anak yang berbakti dan cukup pintar di sekolah.
Kemudian karena negara tertimpa inflasi hebat, kamu dan suamimu terkena PHK. Dari saat itulah kalian merintis bisnis makanan ringan kemasan dari tabungan yang disimpan selama 10 tahun. Kalian bangkit dari keterpurukan, bahkan kalian berdua dapat membeli rumah yang lebih bagus dan terletak lebih dekat dari kota. Di suatu malam, saat suamimu tertidur pulas. Dirimu terbangun dan teringat kembali dengan pertemuan kita.
Tapi kamu tahu? Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan apa yang aku ucapkan barusan, bisa jadi saat aku keluar dari gerbong kereta ini. Sopir antar jemput langgananmu saat kecil sudah menjadi miliarder setelah memenangkan lotre, dengan uang itu dia berhenti menjadi orang miskin dan pindah ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik, kemudian negaramu yang terkena inflasi selama puluhan tahun, keadaannya sudah membaik bahkan saat ini sudah menjadi negara maju. Atau mungkin saja kamu adalah bentuk keniscayaan, dan tidak pernah ada kita. Namun saat ini, aku merasa baik-baik saja.
Melalui pengeras suara, masinis mengumumkan bahwa kereta akan tiba di sebuah stasiun.
Aku harus turun, perjalanan kita belum usai tapi inilah tempatku, aku harus berhenti.
“Bagaimana jika saat aku buka pintu gerbong ini ternyata aku tidak benar-benar melihat dirimu? Apakah kamu tahu ini semua? Adakah kamu di antara mereka?”
Tiba-tiba suara peluit dari kepala stasiun berbunyi dengan keras sebagai isyarat kereta tersebut akan segera pergi meninggalkan stasiun tersebut, tak lama kemudian masinis membalas suara peluit tersebut dengan klakson panjang nan lantang sebagai sebuah tanda bahwa mereka siap untuk bergegas. Wanita yang sepertinya dirimu tak sempat mendengar kalimat terakhir yang diteriakkan oleh laki-laki yang sepertinya diriku itu, hanya menerka-nerka dari isyarat bibir yang diucapkan melalui bibirnya.
***
Matahari mulai muncul dari sela-sela pegunungan sana lalu cahayanya bersijingkat mendekati desa itu, membuat wanita yang sepertinya dirimu tersentak dari mimpinya. Melihat seorang perempuan paruh baya yang baru disadari kemudian adalah ibunya sendiri, berlari ke arahnya dan segera memeluk dengan erat, wanita yang sepertinya dirimu tampak bingung. Namun tak lama kemudian ia membalas pelukan tersebut dengan pelukan yang hangat, tanpa terasa air matanya jatuh membasahi bahu keduanya. Dengan memegang erat tangan ibunya dan menatap dengan yakin, ia berkata:
“Hari ini, aku akan pergi”
Referensi: Ibrahim, Raka. Bagaimana Tuhan Menciptakan Cahaya. 2018.
Comments