Sesudah Matahari Terbit
- Bimanda Dharma Sahara
- Feb 12, 2021
- 4 min read
Updated: Mar 9, 2021

Sepulang dari kantor, Marno langsung menuju kamar kosannya dan menanggalkan semua pakaiannya. Perjalanan dari kantor ke kosan sejauh 2 km yang ia tempuh dengan berjalan dibawah matahari, tentu cukup meletihkan. Badannya terasa penat, lapar, dan haus. Sesegera mungkin ia mengambil nasi beserta lauk sisa sarapan tadi pagi.
Di sebuah kamar 4x3 meter, Marno menghabiskan seluruh waktu akhir pekannya. Tidak luas, namun cukup untuk ditinggali olehnya. Apalagi sebagai orang yang susah bergaul, Marno hanya punya sedikit teman yang bisa diajak mampir ke kosannya. Satu-satunya teman yang ia punya di kantor adalah seorang laki-laki lansia, mungkin umurnya hampir menginjak 65 tahun. Namanya Pak Kasim dan beliau bekerja sebagai office boy kantor itu selama hampir 37 tahun. Meskipun beliau sudah melewati masa produktifnya, beliau enggan untuk berhenti bekerja maupun diberhentikan. Bukan karena butuh uang, tapi katanya, jika tidak melakukan apa-apa setelah pensiun akan membuatnya gampang sakit. Maka dari itu kantor bersedia mempekerjakan Pak Kasim sampai benar-benar tidak sanggup bekerja, syaratnya kantor hanya bersedia menggaji sebatas uang pensiunan. Pak Kasim setuju.
Pertemuan dengan Pak Kasim berawal dari obrolan pada jam istirahat makan siang, waktu itu Marno makan di sebuah warteg yang ada di sebelah kantornya, lalu ketika makan Pak Kasim tiba-tiba duduk di sebelahnya.
“Kamu pegawai di kantor yang sama dengan saya kan?”
“Iya, pak.” Jawab Marno dengan singkat.
Pak Kasim adalah laki-laki yang ramah dan murah hati. Pernah pada suatu waktu, ketika sedang menyantap makan siangnya yang terdiri dari nasi, sayur lodeh, ikan goreng, dan tentunya sambal terasi andalan warteg, beliau melihat seorang perempuan sedang kebingungan merogoh sakunya. Jika dilihat dari raut mukanya yang sedikit ketakutan, sepertinya perempuan ini mengalami salah satu kejadian paling tidak mengenakkan ketika membayar makanan, ya benar, kehilangan uang. Begitu menyadari keadaan tersebut, Pak Kasim langsung menawari bantuan kepada perempuan tersebut. Dengan perasaan sedikit malu, perempuan tersebut menerima uang sebesar dua puluh ribu rupiah untuk membayar makanannya. Perempuan itu berjanji akan membalas perbuatan baik laki-laki tua tersebut jika suatu saat mereka bertemu lagi. Tapi sepertinya kita sudah tahu akhir dari cerita tersebut, perempuan itu tidak pernah kembali ke warteg itu dan tidak membalas kebaikan Pak Kasim.
“Minggu depan saya pulang kampung, pak. Sebentar lagi acara 1000 hari meninggalnya ibu saya.”
“Oh baik, jika kamu butuh sesuatu ke bapak, bilang saja. Kamu hati-hati di jalan ya.”
Dengan memakai koper berukuran sedang, Marno hanya mengambil 4 stel baju untuk dibawa ke kampung halaman. Ia tidak berencana untuk pergi terlalu lama, selain pekerjaannya akan menumpuk banyak. Marno juga sebenarnya tidak terlalu betah tinggal di rumah yang kini ditinggali oleh keluarga adik ibunya bersama suami dan ketiga orang anaknya.
Setelah berpamitan dengan penjaga kosan, Marno pergi menuju Terminal Pulo Gebang. Marno datang satu jam lebih cepat dari jadwal yang ditentukan. Sambil menunggu, ia menghabiskan waktu di warung kopi yang ada di terminal itu, sementara ia menyeruput kopi hitam dan mengambil beberapa gorengan. Di luar, bus antarkota-antarprovinsi, saling bersahutan lalu lalang mengantarkan keluarga yang hendak mudik, pengembara yang mencari peruntungan, dan juga siapa saja yang ingin pulang. Tepat sejam kemudian, panggilan bus Marno telah dibunyikan melalui pengeras suara, Marno mengambil tas dan bergegas menuju tempat yang disebutkan. Setelah semua penumpang naik, bus berangkat pada jam 8.30 dan langsung menuju Terminal Bungurasih, Surabaya. Selama perjalanan, Marno hanya tidur sambil sesekali mengecek handphone, barangkali ada panggilan dari kantor. Setelah menempuh perjalanan hampir 12 jam, Marno tiba di Surabaya.
Jarak dari Terminal Bungurasih ke rumahnya memang cukup jauh, jika ditempuh dengan menaiki ojek sepeda motor, kurang lebih akan tiba dalam waktu 45 menit. Sesampainya di rumah yang mulai gelap karena matahari mulai tenggelam, Marno disambut oleh tantenya dengan suguhan makanan yang cukup untuk mengisi perutnya yang lapar.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?” Tanya tantenya untuk membuka obrolan.
“Biasalah, cukup melelahkan tapi aku senang dengan pekerjaanku.”
“Baguslah, memang sebaiknya manusia bekerja tidak hanya untuk menunggu hari gajian. Orang-orang berkata, bahwa bekerja adalah kutukan, dan susah-payah merupakan nasib. Padahal bagiku bekerja adalah sebuah kegiatan yang mulia, sehingga jika kamu selalu menyibukkan diri dalam kerja, sebenarnya kamu sedang mencintai kehidupan.”
“Ya, bisa jadi demikian.”
Setelah bercakap selama hampir 2 jam, Marno meminta izin untuk masuk ke kamar untuk beristirahat. Badannya masih terasa pegal dan agak tidak enak, mungkin karena kemasukan angin pendingin ruangan yang berhembus sepanjang jalan. Marno masuk kamar sambil menjatuhkan diri di tempat tidur dan menarik selimut yang sudah disiapkan sebelumnya. Ia memperhatikan beberapa barang yang ada di ruangan itu dan masih ingat dengan beberapa barang di sana. Sebut saja lampu tidur yang ada di sebelah pintu masuk itu, meskipun bohlamnya sudah diganti beberapa kali, Marno masih ingat itu adalah lampu yang sama dengan lampu yang biasa dipakai oleh ibunya untuk menjahit pakaian. Atau lemari baju yang ada di sebelah kasurnya, warna coklat khas kayu jati masih jelas dalam ingatan Marno. Ketika masih kecil, saat rumahnya belum dialiri listrik, Marno sering bermain dengan ibunya ketika malam tiba. Biasanya mereka berdua sering bermain petak umpet, dan tempat favorit Marno untuk bersembunyi adalah di balik pintu lemari itu.
Dalam lamunannya, Marno kembali teringat dengan rumah lamanya itu. Ia suka sekali duduk di pelataran rumah tiap kali hari mulai menjelang sore, biasanya ia berjumpa dengan tetangganya yang berjalan lalu lalang melewati gang yang ada di depan rumahnya itu. Beberapa diantara mereka melemparkan senyum kepadanya dan Marno membalasnya dengan senyum dan anggukan kecil. Selain itu ada pula yang sambil menyapa namanya, bahkan jika ada waktu sebelum hari menjadi gelap, suka mampir ke rumahnya untuk saling menanyakan kabar atau memberi gosip terkini mengenai kampung mereka.
Marno sadar ia tidak akan kembali pada ibunya, begitu juga sebaliknya. Ia tidak menangis saat itu, air matanya menggelinang ke dalam, jauh ke dalam dunia perkabungan itu sendiri. Laki-laki malang itu memandangi sanak saudara yang hadir pada hari itu. Mata mereka merah membengkak, hati mereka merangkak-rangkak.
Marno menatap foto ibunya yang sedang memangku Marno kecil, dilihat dirinya sedang tertidur pulas di dalam balutan jarik dengan bau yang khas. Di foto itu wajah ibunya terlihat putih dan bersih. Marno semakin larut dalam wajahnya yang suci dan menyerah ketika ia baru menyadari bahwa foto tersebut diambil tak lama sebelum ayah Marno pergi meninggalkan ibunya untuk menikah dengan perempuan lain.
Comentários