top of page

Talonang Baru : Narasi Seorang Pendatang

  • Writer: Bimanda Dharma Sahara
    Bimanda Dharma Sahara
  • Aug 16, 2018
  • 3 min read

Updated: Mar 12, 2021


Ada bunyi suara sapi yang sedang memamah dan suara bercakap, sayup-sayup angin terdengar di penghujung jalan itu diantara orang-orang. Lolongan anjing sesekali terdengar. Di sudut desa lainnya terdengar suara speaker di salah satu taman kanak-kanak yang memainkan lagu anak-anak seperti balonku dan naik kereta api. Pengurus taman kanak-kanak membunyikan speaker bukannya tanpa alasan, hal ini bertujuan agar anak-anak berangkat ke sekolah, karena ada diantara dari mereka yang tidak berangkat ke sekolah jika speaker tidak berbunyi di pagi hari. Tenang dan damai, begitulah suasana pagi hari di Talonang Baru, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Sumbawa Barat bagian selatan, berbatasan langsung dengan Kabupaten Sumbawa Besar dibagian timur.

Kenapa diberi nama Talonang Baru ? apa yang terjadi dengan Talonang ‘lama’ ? penyematan nama ‘baru’ disini ternyata memiliki cerita tersendiri yang cukup memilukan. Pada tanggal 19 Agustus 1977 terjadi gempa sebesar 8,2 Skala Richter, gempa tersebut menimbulkan gelombang tsunami yang akhirnya menyapu bersih desa talonang ‘lama’. Warga yang selamat memilih untuk pindah dari daerah tersebut karena dirasa tidak aman untuk ditempati.


Desa Talonang Baru sendiri merupakan sebuah unit pemukiman transmigrasi (UPT) yang terbentuk pada tahun 2001 dan saat ini memiliki 2 buah satuan pemukiman yaitu SP 3 dan SP 4. total penduduk Desa Talonang Baru sebanyak kurang lebih 500 KK, dengan mayoritas warganya bekerja sebagai petani. Saat kami berkunjung ke desa tersebut kalender masih menunjukkan bulan Juli, artinya warga masih belum beraktivitas di ladang. Jikapun ada yang pergi meladang, umumnya mereka hanya sekedar membersihkan ladang agar siap ditanam saat musim penghujan nanti. Pada umumnya mereka mulai bercocok tanam pada bulan September-Oktober. Di musim kering seperti saat ini warga cenderung berdiam dirumah, bercengkerama dengan keluarga ataupun tetangga.


Ibu Susi terlihat sedang memetik cabai yang ia tanam di lahan yang tidak jauh dari ladang jagungnya.

Beberapa diantara mereka juga ada yang melakukan aktivitas lainnya seperti pergi ke hutan yang terletak di sebelah utara desa ini, hutan di Desa Talonang Baru terbagi menjadi 2 jenis. Yaitu hutan lindung serta hutan adat yang pada beberapa tahun belakang sempat menimbulkan konflik antara warga dengan pihak pemerintah. Di hutan ini, warga melakukan banyak aktivitas seperti memancing ikan, mencari madu, mencari kayu bakar, dan jika beruntung mereka bisa berburu rusa. Selain di hutan, aktivitas mereka juga dapat terlihat di sepanjang bibir pantai, disana mereka terbiasa mengambil telur penyu, dan di beberapa waktu saat air laut sedang surut, warga juga melakukan madak atau mencari kerang diantara terumbu karang. Hutan dan laut merupakan ‘tempat pelarian’ bagi warga Desa Talonang Baru saat musim kemarau. Sebagai daerah transmigrasi, latar belakang warga Desa Talonang Baru juga sangat beragam. Umumnya mereka adalah pendatang dari Lombok, sisanya berasal dari berbagai pulau seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Bahkan diantara mereka merupakan korban ex-kerusuhan di Sampit, Poso dan Ambon. Dan karena desa ini merupakan daerah transmigrasi, mereka cukup fasih menggunakan Bahasa Indonesia. sebagai pendatang baru kami sangat terbantu dalam berkomunikasi.


Jumat pagi yang sedikit bernuansa mendung, saya, jaya, veri dan andika bergegas menuju kantor kepala desa. Disana kami bertemu Bapak Lalu Dedi yang merupakan Kepala Desa Talonang Baru. Beliau menceritakan bagaimana Desa Talonang Baru ini berkembang dari tahun 2001 hingga saat ini. Dengan berbagai macam kekayaan alam yang dimiliki Desa Talonang Baru, bukan berarti warga Desa Talonang Baru terbebas dari berbagai macam masalah. Sebagai salah satu daerah yang mengandalkan sektor pertanian, Desa Talonang Baru hingga saat ini masih belum menjawab persoalan tentang pengolahan lahan serta sistem irigasi. Alhasil mereka hanya bisa memanfaatkan lahan mereka sekali setahun yaitu pada musim penghujan saja. Dengan kondisi demikian, petani disana memilih untuk menanam komoditas jagung karena dirasa lebih tahan hama dan tidak membutuhkan banyak air. Hal ini bertolak belakang jika kita menengok ke Kecamatan Lunyuk yang bersebelahan dengan desa ini dimana kita dapat menjumpai ratusan hingga ribuan hektar hamparan padi yang mulai menguning. Daerah ini bisa ditanami sepanjang tahun, bahkan padi dapat dipanen sebanyak 3 kali dalam setahun.

Lalu dalam hal infrastruktur, saya dapat mengatakan negara ‘telat’ hadir dalam kehidupan mereka. Setelah menunggu lebih dari 10 tahun, mereka baru mendapat fasilitas seperti jalan beraspal, sebelum itu, masyarakat disini sudah terbiasa untuk melewati jalan tanah yang jika hujan turun akan menjadi lumpur yang dalam. Ibu Ani sempat berkata kepada saya bahkan pada sekitar 2005, desa ini terkena wabah luar biasa malaria dan menelan ratusan korban jiwa akibat tidak adanya akses transportasi yang memadai. Selain itu mereka juga harus bersabar selama 17 tahun hingga akhirnya dapat menikmati listrik yang dapat diakses penuh selama 24 jam sehari.

Sesaat setelah makan malam, aku beranjak dari karpet merah untuk mengambil piring kotor karena malam itu jadwalku untuk mencuci piring dan peralatan masak. Di tengah lagu Anchor karya Novo Amor, saya teringat kembali kata Bapak Lalu Dedi “Transmigrasi yang tidak disertai fasilitas yang layak sama saja membunuh orang-orang didalamnya”. Sempat terdiam selama beberapa saat, aku kemudian menyadari air yang ada dalam bak penampungan air berkapasitas sekitar 2000 liter hampir habis.


コメント


  • Instagram
  • LinkedIn
  • 77-behance-512
bottom of page