top of page

Pasar dan Seni

  • Writer: Bimanda Dharma Sahara
    Bimanda Dharma Sahara
  • Apr 3, 2018
  • 4 min read

Updated: Mar 9, 2021

The Last Protectors

Heri Dono

Fiberglass, sounds, electronic devices

165 cm x 320 cm x 62,5 cm (4 buah)

2016


Tatanan nilai dalam kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia selalu mengalami perubahan. Suatu keadaan yang berubah sedang kita amati dan kita rasakan mulai dari nilai-nilai di dalam diri sendiri, masyarakat, dan kebudayaan di sekitar kita dewasa ini. Begitu pula dengan seni rupa sebagai refleksi dari kehidupan juga ikut bergerak mengikuti perubahan dalam tatanan nilai yang berlaku disekitarnya. Perubahan pada seni rupa (sistem) juga berdampak pada karya seni rupa yang merupakan produk dari seni rupa itu sendiri. Selain itu seniman sebagai subjek sentral dalam dunia seni rupa juga terkena dampak atas peristiwa ini, karena bagaimanapun tanpa ada manusia yang berpredikat sebagai seniman, kesenian tidak bakal terjadi.


Salah satu perubahan yang terjadi pada dunia seni rupa, khususnya seni lukis, pada masa kini terjadi pergeseran makna atas karya seni lukis dimana publik melihat karya seni lukis tidak hanya sebagai barang yang bernilai budaya tapi juga barang yang bernilai ekonomi bahkan menjadi barang investasi. Suatu karya seni memiliki makna ketika proses komunikasi dan apresiasi dengan publik berlangsung secara intensif. Publik menjadi faktor penting bagi keberhasilan suatu karya. Publik dalam dunia seni rupa bertindak sebagai pemangku kepentingan seni. Pada masa kini publik kian beragam, terdiri dari masyarakat umum, pihak pemerintah, pengamat seni, kolektor, pengelola museum, pemilik galeri, art dealer, institusi pendidikan seni, pengusaha, dan lain-lain.Dewasa ini, pihak kolektor, art dealer, dan pengusaha sering muncul sebagai aktor penting dalam medan sosial seni. Dari sinilah awal dimana karya seni beredar dan dipersepsi sebagai benda yang bernilai ekonomi; benda seni dimaknai sebagai komoditi bahkan investasi. Terminologi yang dulu ditabukan dari peristiwa seni seperti harga, dagang, pasar, kontrak menjadi sangat lumrah untuk diucapkan. Selain itu ukuran sukses berpameran juga sudah mulai bergeser dari yang awalnya identik dengan publisitas dalam media massa lewat daya kritis dari seorang keritikus seni menjadi kesuksesan transaksi jual beli. Kegiatan berseni sudah menjadi bagian dari dunia bisnis, orientasi utama karya seni dilihat dari perolehan laba. hal ini semakin kuat dengan adanya peristiwa ‘boom’ seni lukis Indonesia pada tahun 1990-an, terjadi pada golongan atau rumpun seni lukis tertentu. Mereka berasal dari golongan / rumpun seni lukis tertentu. Mereka berasal dari bermacam daerah dan dilakukan di lapisan masyarakat menengah ke atas kita, yang berpusat di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Seluruh masa itu ditandai dengan peningkatan jumlah lukisan yang diperjualbelikan dan sangat laku. Terbukti ada peningkatan jumlah dan frekuensi pameran, pertumbuhan galeri komersial, pertumbuhan sponsor pameran dan bertambahnya kolektor lukisan. Di samping itu tampak jumlah pelukis yang terlibat juga ikut meningkat, Peningkatan harga lukisan, perluasan tempat-tempat pameran tidak hanya diselenggarakan di tempat tertentu, tetapi juga hotel, bank, dan pusat perbelanjaan. Gejala lain seperti pelelangan lukisan, pemalsuan lukisan, serta beredarnya kembali lukisan lama dan kuno (Sanento Yuliman, 1990:1-2).Saat itu (hingga kini) pertumbuhan ekonomi luar biasa, dan di sementara wilayah di Indonesia dibangun gedung-gedung modern dengan perlengkapan yang serba modern pula. Tumbuh kebutuhan akan lukisan mengisi dinding berbagai bangunan, yaitu lukisan yang dapat memenuhi kebutuhan itu. Lukisan harus sesuai dengan estetika ruangan, cita rasa rancangan yang berlaku pada masa itu, serta lukisan yang “pantas”, yaitu sesuai harga gedung dam ruangan beserta perlengkapannya. Melihat situasi tersebut, sejumlah pedagang dan pengusaha melihat lahan baru, dan berlomba membuka galeri baru. Melihat harga lukisan melambung tinggi dari waktu ke waktu, mengoleksi lukisan adalah alternatif baru dalam investasi.


Apabila ditinjau lebih jauh, meskipun fenomena ‘boom’ seni lukis ini sudah lewat. Namun jejaknya masih terasa hingga kini, bahkan bagi penulis akan terus bertahan hingga 10-15 tahun mendatang. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah masyarakat menengah di Indonesia. Menurut data awalnya hanya ada 45 juta masyarakat menengah pada 1999 (25% dari jumlah penduduk) menjadi 134 juta pada 2010 dan pada 2015 kelas menengah tersebut mencapai 170 juta atau 70% dari jumlah penduduk. Ditambah lagi pola masyarakat kita yang cenderung konsumtif membuat aura ‘boom’ seni lukis akan terus bertahan. Akibatnya, perkembangan kesenian seni rupa khususnya seni lukis, mengalami krisis estetika. ‘boom’ sebuah karya seni tidak sepenuhnya diukur dari nilai estetika secara an sich, tetapi dipertimbangkan dengan nilai mata uang dan harga sebuah karya seni.


Seni Rupa ITB sebagai salah satu institusi seni tertua di Indonesia juga tak luput dari efek ini. Pada masa itu, jumlah seniman akademis juga ikut berkurang. Seniman akademis yang dimaksud di sini ialah mereka yang yang memeluk dua profesi sekaligus: seniman dan akademisi (tercatat sebagai dosen disalah satu lembaga pendidikan seni). Akhir-akhir ini profesi itu semakin langka. Begitupula profesi “kritikus/penulis akademis”. Orang biasanya harus memilih salah satunya. Dalam sejarahnya, FSRD-ITB adalah salah satu akademi yang banyak mengorbitkan seniman/penulis akademis di kancah seni rupa: sebutlah Sjafe’I Soemardha, Ahmad Sadali, Edie Kartasubarna, Mochtar Apin, Angkama S., But Muchtar, dan Srihadi Yuliman. Dunia perguruan tinggi seni rupa yang semestinya menjadi wilayah kajian seni secara kritis, nyatanya cenderung tidak berkutik mengadapi fenomena semacam art fair yang semakin menggila. Kajian-kajian yang dihasilkan perguruan tinggi maupun para peneliti tak bisa menembus wilayah praksis pasar. Maka, dunia seni rupa ke depan perlu dipikirkan semacam komunikasi timbal-balik antara dunia wacana dan dunia pasar (market).




Comments


  • Instagram
  • LinkedIn
  • 77-behance-512
bottom of page