top of page

Kontemplasi Jumat Legi

  • Writer: Bimanda Dharma Sahara
    Bimanda Dharma Sahara
  • Feb 27, 2018
  • 3 min read

Updated: Mar 12, 2021

sang hyang mahāyāna iki warahakna mami iri kita,

mantracaryyanayamwidhim,

sang hyang mantranaya sira mahāyāna mahāmargga nngaranira,

desa yisyami te samyak,

sira teki deśanākna mami warahakna mami ri kita,

bhajanas twam mahanaye,

ri kadadinyan kita pātrabhūta yogya warahĕn ri sang hyang dharmma mantranaya


Selamat datang, silahkan duduk manis, dan nikmati secangkir kopi. Pilih sendiri, anda lebih suka kopi polos atau mungkin anda lebih suka menambahkan gula berikut krimer biar anda tidak terlalu merasa kecewa dengan keadaan yang sedang terjadi hari ini. Hehe, terserah. Toh, saya ga peduli-peduli amat. Begini, anda pasti udah ngeh kan ? kalo dunia ini isinya problem ? entah itu problem yang emang problem atau problem yang sebenernya bukan problem, Cuma karena yang terkait adalah pihak yang bisa menaikkan rating media. Dibuatlah itu menjadi problem. Gak lulus mata kuliah problem, tapi, lulus mata kuliah dengan nilai A juga problem, apalagi kalau tiap hari titip absen dan nyontek. Itulah yang dirasakan Wicaksono, mahasiswa yang hampir tiap bulan ikut aksi tapi tiap aksi dia minta titip absen ke temen. Suatu malam dia nyangkruk di angkringan depan seberang parkiran seni rupa bersama temannya yang baru datang dari Astinapura, Arjuna


“na, menurutmu gimana si zaadit ?” tanya wicaksono


“gimana apanya ?” balas arjuna dengan singkat sambil menyantap sate usus bakar


Arjuna sebenarnya udah males bahas hal ginian, hampir tiap hari dia ke tempat umum, gak di kelas, gak di kantin, ga di line today rasanya semua isinya tentang doi mulu. Padahal dia jauh-jauh pergi dari FMIPA-Universitas Indraprasta biar ga ditanya hal ginian, nyatanya tetep aja ketemu juga. Emang bener kata pepatah, se-pandai-pandainya bangao terbang, tetep jadi kecap juga akhirnya. Tapi yaudah, karena yang nanya itu teman sejak SD akhirnya arjuna meladeni si wicaksono.


“aku ndak terlalu peduli no masalah dia” arjuna melanjutkan dengan nada kalem,


“kok kamu bisa ngomong gitu ?, emang kamu ga malu punya ketua BEM kayak dia ? ga punya sopan santun dan tata krama !! kalo emang dia pengen mengkritik bukannya ada cara yang lebih baik ?!” jawab wicaksono dengan nada tinggi. Maklum, sebagai orator di lapangan ia memang terlatih untuk bersuara kencang dan tinggi.


Arjuna menyurutkan Wicaksono “no, kamu masih inget ga kenapa dalam tiap lakon pewayangan, semua tokoh disana punya posisi terhormatnya masing-masing, meskipun jika ia adalah seorang karna, musuh bebuyutan arjuna. Karena mereka sadar no, bahwa ga ada ceritanya dalam lakon wayang, tokoh selalu ditampilkan sifat baiknya, atau sifat buruknya aja. Misal yudhistira, sebaik-baiknya dia, beliaulah yang membuat kelima pandawa terasingkan di hutan selama 12 tahun ! ngomong soal sopan santun dan tata krama, mereka itu beda. Sopan santun ada di permukaan. Tata krama tertanam dalam hati. Bima tak sopan ke siapa pun. Tapi bertata krama. Itulah hakikat kaum urakan. Ia tak pernah sungkem dan berbahasa halus kepada Kresna, tapi hatinya hormat. Maka titisan Wisnu itu amat menyayanginya”



Arjuna tidak seperti Wicaksono, ia bukanlah aktivis yang sering melakukan demo ataupun aksi jahit mulut. Meskipun demikian, ia tahu betul, apa yang terjadi dengan keadaan negerinya dan bumi permukaan. Dalam mengungkapkan gagasannya, Arjuna lebih suka menulis dan menyebarkannya di seluruh penjuru kampus, tulisannya cukup dikenal oleh seluruh warga kampus. Suatu hari ia pernah menulis kritik tentang bagaimana sikap mahasiswa terhadap masyarakat yang sempat membuat geger di hampir seluruh timeline sosial media, dalam kritiknya ia beranggapan bahwa mahasiswa saat ini hanya sedang merayakan statusnya sebagai seorang maha, mereka menganggap dirinya sudah setingkat dengan MAHA. Aksi yang dilakukan juga semata-mata agar kesempatan untuk bersuara dapat dimanfaatkan alhasil konten yang ada didalamnya juga kopong. “Mumpung jadi mahasiswa”, katanya. Selain itu arjuna juga mengkritik bagaimana mahasiswa sekarang memandang masyarakat seperti halnya komoditas pasar, yang diliat cuma angka dan data. Sok-sokan menyuarakan isi hati rakyat, tapi ga tau rakyat yang mana. Heuehuehu.


Arjuna memang dikenal sebagai penulis yang pemberani dan tak pandang bulu, sudah banyak omongan tentang arjuna yang datang dari orang yang pernah jadi bahan kritikannya. Ia bahkan tidak menggubris pasal 122 huruf K yang baru-baru ini disahkan. Pasal tersebut memperbolehkan Mahkamah Korban Dedegemes (MKD) untuk, “mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”. Bukannya diam, Arjuna justru semakin bersemangat untuk menuliskan kritik, baginya adanya pasal tersebut dapat berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Astinapura, karena definisi kritik dan hinaan tergantung interpretasi penerimanya, sehingga amat mungkin disalahartikan.


“oh, begitu” balas Wicaksono dengan singkat dan kalem seolah ia paham dengan apa yang dipikirkan oleh Arjuna.


Setelah mereka selesai menyantap hidangan makan malam, mereka segera bergegas pergi. Sebagai tanda ucapan selamat datang di Kota Parahyangan. Wicaksono mentraktir Arjuna.

Comments


  • Instagram
  • LinkedIn
  • 77-behance-512
bottom of page